Refleksi Diri Seorang Pemudi (Sumpah Pemuda, 2016)

Source: Alexas_Fotos
Sebagai seorang pemuda (eh, pemudi ding), saya tentunya ingin mempersembahkan sesuatu bagi bangsa ini.

Pada awalnya, yang ada dalam pikiran saya saat sedang kuliah, selepas lulus nanti, saya akan bekerja di lembaga kemasyarakatan. Bekerja sosial. Membuat perubahan langsung di tengah masyarakat.

Tapi, di sinilah saya sekarang. Bekerja di sebuah perusahaan multi nasional (perusahaan Jepang lebih tepatnya, yang sedang berusaha menjadi "a world class company"). Suatu posisi yang sebenarnya "tidak begitu dibayangkan" saat masih duduk di bangku kuliah dulu.

Saya dulu tidak terbayang bekerja kantoran, duduk di depan komputer jam delapan pagi hingga pukul lima sore, diselingi satu jam istirahat siang.

Sekarang, saya mengalami sendiri, bagaimana rasanya bekerja "kantoran".

"Kantoran", dalam tanda petik. Maksudnya, tidak benar-benar hanya menghabiskan "eight to five" di kantor, melainkan juga di jalan dan di lapangan.

Senin, saya di kantor pusat Jakarta. Selasa hingga Kamis, mengunjungi pabrik supplier di luar kota, menginap di sana. Jumat, kembali bekerja di kantor pusat Jakarta. Sisanya, Sabtu dan Minggu, saya masih punya "kehidupan" di Jakarta :).

Jadi, hidup sebenarnya membawa saya ke mana?
Dari segala rutinitas yang saya jalankan di hari Senin hingga Jumat,
Belasan jam tiap minggunya yang saya lewatkan di jalan,
Energi yang dikerahkan untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka membuat bisnis bisa berjalan,
Sudahkah saya benar-benar berkontribusi kepada masyarakat?

Apakah keberadaan saya benar-benar bermanfaat bagi sesama?

Dapatkah saya membuat perubahan?

Apa yang dapat saya lakukan untuk negara saya?

Apa yang dapat saya berikan untuk masyarakat dan sesama?

Membaca kembali pertanyaan di atas, membuat saya menyadari, bahwa saya tidak lepas dari rasa "insecure" (dapatkah kita mengartikan "insecure" sebagai "gelisah"?). Untuk mengurangi kegelisahan tersebut, saya ingin menuliskan, apa saja aspek dalam pekerjaan ini, yang kira-kira masih ada irisannya dengan kontribusi bagi masyarakat. Meskipun, ini baru merupakan satu bagian keciiiiiil sekali dari keseluruhan sistem yang berjalan, dan masih dalam tahap pembelajaran.

1. Belajar bisnis ala Jepang: disiplin dan efisiensi. Kebiasaan baik dalam pekerjaan bisa juga diterapkan dalam kehidupan.

2. Belajar manajemen, mengontrol proses produksi. Suatu hari nanti, Indonesia tidak akan hanya menjadi "target pasar". Indonesia juga bisa menjadi pusat produksi. Lebih dari itu, Indonesia juga akan menjadi pusat ide juga! Karenanya, di masa depan, Indonesia harus punya spesialis manajemen yang cakap. Apalagi perempuan. Di ranah publik maupun domestik, harus cakap mengatur segalanya (yang mungkin ga selalu lancar sesuai rencana, tapi semua tetap harus jalan dan ada solusinya).

3. Belajar cross cultural communication. Jepang, Tiongkok, Korea, ASEAN, Eropa, Amerika, dan seluruh bagian dunia. Belajar berkomunikasi efektif meski belum tentu bisa bertatap muka. Saat bertatap muka pun seringkali masih terkendala bahasa. Tekanan di sana sini. Justru di sini belajar menghadapinya dengan santai dan tetap menemukan solusinya.

4. Belajar bekerja sama dengan banyak pihak dari berbagai latar belakang. Dari top management, tenaga pelaksana, hingga buruh pekerja. Saya belajar bagaimana cara menempatkan diri, bagaimana harus bersikap, bagaimana berkomunikasi dengan masing-masing pihak untuk mendapatkan hasil maksimal.

5. Belajar membuat keputusan (dalam waktu singkat). Memilah hal-hal mana saja yang dapat saya putuskan sendiri, dan hal-hal mana saja yang perlu bantuan dari atasan. Tidak hanya meminta arahan, tapi juga memberikan opini kita tentang apa yang seharusnya dilakukan. Sering terjadi kesalahan dan kegagalan, namun selalu ada ruang untuk perbaikan. Poin ini, saya rasa, yang paling penting dalam pembentukan karakter kepemimpinan.

6. Belajar komunikasi dan negosiasi. Tujuan kita dihadapkan dengan tujuan partner (rekan kerja, atasan, partner bisnis dll) mustinya sama, tapi tak jarang juga berbeda. Harus dicari irisannya. Harus ada jalan keluarnya. Gak cuma di dunia kerja, di kehidupan bermasyarakat pun, tiap individu pasti punya kepentingan yang berbeda. Kita tidak bisa mengharapkan semua orang berpandangan sama seperti kita. Dengan komunikasi, menyampaikan pesan secara tepat sasaran untuk mencapai tujuan. Dengan negosiasi, dua atau lebih kepentingan yang berbeda dapat diakomodasi.

7. Dan lain sebagainya.

Dari sekian poin di atas, saya berkesimpulan. Setidaknya, di sini saya "belajar bermasyarakat".

Pekerjaan saya dan kehidupan saya saat ini, tidak lain merupakan hal yang telah saya pilih. Yang Allah takdirkan untuk saya pilih. Saya yakin, ada alasan Allah menempatkan saya di sini. Mungkin untuk belajar. Mungkin untuk berkontribusi. Yang saya yakini, dengan ditempatkannya saya di sini, Allah tengah mempersiapkan saya untuk menjadi pemudi Indonesia yang lebih baik, yang lebih cakap, yang lebih luhur dan berbudi, dari setiap proses yang dijalani di sini.

Setiap usaha pasti akan ada hasilnya.
Anda sendiri tahu sampai mana batas Anda.
Selalu ada ruang untuk perbaikan.

Teringat kata faculty advisor saya saat mengikuti kegiatan kampus dulu, Bu Kasiyah, kurang lebih seperti ini: "Di manapun kamu berada, pasti ada kesempatan untuk menjadi orang yang kehadirannya selalu dinantikan, yakni menjadi orang yang baik."

Peran yang saya pilih saat ini, menjadi pemudi Indonesia yang baik. Yang berusaha memanfaatkan tiap waktu dan kesempatan, utamanya dalam pekerjaan, sebagai sarana pembelajaran  untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Yang dengannya, tidak berhenti mencari cara untuk berkontribusi kepada sesama, masyarakat, Indonesia.

Bagaimana dengan Anda? :)

Setiabudi,
29 Okt 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Saran Pengasuhan yang (Mungkin) Belum Pernah Anda Dengar Sebelumnya

Mengasuh Anak Lebih Mudah, Emang Bisa?

[FAQ] Sastra Cina UI