Serba-Serbi Les Privat

Tentang mengajar....
Nggak terasa sudah hampir dua tahun berkecimpung di dunia ajar mengajar.
Sebenernya "Kenalan" pertama dengan dunia pengajaran dimulai ketika bergabung sebagai pengajar sukarela di saung sastra FIB UI... Di situ, saya diberi kesempatan ikut mengajar adik-adik yang tinggal di kampung binaan BEM FIB UI. Di situlah mental saya sebagai pengajar "diuji".  Saya harus bisa menghadapi 3-4 orang anak yang karakternya berbeda-beda, dan membantu mereka untuk lebih memahami materi yang mereka anggap sulit. Di titik itu saya baru sadar kalo mengajar itu sama sekali tidak mudah. Saya ingat sekali, diantara empat anak itu, ada salah satu anak yang memang lebih "Cepat belajar" diantara yang lainnya. Sementara temannya ada yang perlu waktu lebih untuk menangkap materi. Di saat "si Cepat" mulai bosan, ia merajuk diberikan soal yang lebih susah, sementara teman-temannya masih belum begitu menguasai materi. Saya harus cari cara bikin "si Cepat" kompromi, dan membuat teman-temannya nggak jadi patah semangat karena belum bisa menyerap materi secepat si cepat. Di situ saya jadi mikir, mengajar empat orang aja nggak mudah, gimana guru SD saya dulu mengajar 52 anak dalam satu kelas? #Nangis


Mengajar Privat
Perjalanan di saung sastra tidak berjalan begitu lama. Setelah beberapa minggu kegiatan belajar mengajar, ada libur panjang plus ramadhan dan idul fitri, sehingga aktivitas vakum. Saya pun rehat mengajar. Saya baru mengajar kembali beberapa tahun setelahnya, kali ini mengajar privat. Awal mulanya hanya menggantikan seorang teman yang berhalangan mengajar muridnya. Muridnya anak laki-laki, kelas 6 SD. Kali ini mata pelajarnya adalah mayor saya, yakni bahasa Mandarin. Ketika mengajar anak ini, saya tidak menemukan kesulitan berarti karena pada dasarnya saya tinggal menggantikan posisi teman saya yang telah menyiapkan soal-soal latihan. Saya hanya perlu mendampingi sang siswa mengerjakan soal tersebut dan memandunya dalam mengerjakan PR. Saya meniatkan mengajar selain untuk berbagi pengetahuan, juga untuk berbagi inspirasi. Bahkan seringkali, saya yang dibuat belajar dari anak-anak yang saya dampingi belajarnya. Berinteraksi dengan mereka yang seringkali bertingkah tidak terduga itu seolah memberi energi baru. Mungkin ini yang membuat saya selalu senang ketika bisa mengajar, menemukan hal baru :)

Beda anak, beda cara
Tiap anak memiliki karakter berbeda, pun juga cara belajarnya. Ada seni tersendiri yang harus selalu diasah dalam setiap proses belajar. Mengajar anak kelas 1 SD berbeda dengan mengajar anak kelas 3 SD. Apalagi mengajar siswa SMA. Spesialisasi saya adalah mengajar Bahasa Mandarin. Untuk membuat anak lebih tertarik belajar, terkadang saya harus memotong-motong kertas lipat warna warni sedemikian rupa agar sang murid lebih bersemangat dan penasaran dalam belajar. Terkadang juga saya membuat PPT warna-warni dengan animasi sedemikian rupa, dengan harapan yang sama :""))).

Media kertas warna-warni. Cukup efektif untuk membantu siswi kelas 1 SD belajar Bahasa Mandarin

Ada anak yang baru bisa "klik" belajar bila dibikinkan soal. Ada salah seorang murid, laki-laki kelas 5 SD, yang di akhir sesi selalu membuatkan saya games (ketika konsentrasi mulai menurun, dan murid sangat mudah terdistraksi) . Anak yang satu ini memang spesial. Imajinasinya sangat tinggi. Ia membuat games dalam bentuk gambar, mulai dari mazes yang harus saya temukan jalan keluarnya, hingga membuat gambar games yang cukup ribet semacam game ala ala the hunger games. Kadangkala, sesi belum selesai tapi si murid sudah sibuk meminta saya menyelesaikan games yang dia buat. Di saat seperti ini, saya harus bisa negosiasi, misal mau mengerjakan games yang dia buat jika dia telah selesai mengerjakan soal yang saya buat, atau bila dia telah bisa membaca teks dengan lancar. :)) Sebenarnya, saya sangat senang mengajar murid saya itu (meski jarak tempuh menuju rumahnya jauh lebih lama dibanding waktu belajar, harus 3x ganti moda transportasi pula hahaha) karena capeknya seolah hilang setelah mengajar. Tapi sayang kami harus "berpisah" karena saya harus fokus dengan hal lain, huhuhu.

Guru dan Lembaga Les Privat (plus ortu)
Biasanya, guru les privat tergabung dalam suatu lembaga les privat. Lembaga les privat ini biasanya bertugas mencari "klien" atau siswa, dan guru tinggal datang ke tempat siswa untuk mengajar. Guru menjalankan tugas sesuai dengan perjanjian yang disepakati dan lembaga. Orang tua murid umumnya membayar biaya les ke lembaga. Lembaga biasanya akan mengambil sekian persen dari yang dibayarkan oleh ortu murid sebagai biaya administrasi sebelum membayar honor guru.

Sejauh ini, saya menganggap lembaga les privat ini sangat membantu guru-guru privat freelance dalam menemukan siswa. Guru tidak perlu repot "mencari" murid karena biasanya lembaga sudah bisa menjembatani. Sejauh ini, tidak masalah asalkan guru dan lembaga bekerja berdasarkan perjanjian. Guru mengerahkan kemampuan terbaik ketika mengajar, lembaga pun dengan semaksimal mungkin memberikan para guru 'tempat bernaung'. Orang tua yang telah menginvestasikan tidak sedikit uang juga bisa tersenyum melihat buah hatinya terbantu dalam belajar.
 
Namun, tidak semua hal selalu berjalan dengan ideal.

Pernah suatu kali saya mendapat tawaran mengajar. Tempatnya cukup jauh, tepatnya di daerah BSD. Sebagai gambaran, sekali jalan ke BSD bisa ditempuh paling cepat satu setengah jam perjalanan. Tinggal dikalikan dua untuk perjalanan PP. Saya sempat mengajar selama dua bulan di sana. Setiap kali mengajar, saya dan siswa selalu mengisi buku presensi, sesuai dengan ketentuan dari lembaga yang menjadi penghubung saya dan siswa tersebut.

Singkat cerita, ada miskomunikasi antara lembaga, orang tua murid, dan saya. Ortu menolak membayar karena anaknya merasa tidak ada les pada bulan Januari. Saya menelepon ortu murid, namun yang bersangkutan tetap tak bergeming. Idealnya, ketika terjadi 'sengketa' seperti hal di atas, sebenarnya guru tidak perlu tahu apakah pembayaran dari ortu murid lancar atau tidak, karena itu adalah otoritas bimbel. Yang perlu dilakukan guru adalah menjalankan kewajiban saya sesuai perjanjian, dan ketika kewajiban telah terlaksana, hak sudah bisa didapatkan.  Ke depannya, bila manajemen bimbel tersebut masih seperti itu, saya tidak akan mau merekomendasikan bimbel tersebut kepada siapapun. (beberapa waktu kemudian, setelah ngobrol dengan beberapa orang yang pernah melamar maupun mengajar di lembaga tersebut, banyak yang mengeluhkan hal serupa, huvt to the max.)

Tapi yang pasti tidak semua lembaga seperti itu. Saya juga sempat mengajar murid dengan perantara lembaga yang lain yang sangat care, dan selalu menunaikan kewajiban dengan tepat waktu. Selain itu, saya juga pernah bergabung dengan bimbel yang dikelola seorang kawan. Manajemennya lebih bagus dan sistemnya juga jelas. Tiap progress murid dan guru dipantau. Pengalaman kurang mengenakkan saya di suatu lembaga terdahulu itu pun saya ceritakan kepada teman saya itu sebagai tambahan wawasan masukan. Teman saya ini memang pada dasarnya sudah sering mengajar privat juga, sudah merasakan akar rumput sebagai guru privat, jadi saya yakin dia tahu betul aspek-aspek mana saja yang harus ditingkatkan dan diperbaiki.

Pelajaran yang bisa dipetik:
untuk guru privat: pilih lembaga yang terpercaya dan jelas track recordnya, kalau perlu, tanyakan ke teman-teman yang telah/sedang bergabung dengan lembaga tersebut. Jadi guru berarti siap belajar terus, jadi jangan berhenti memperbarui ilmu pengetahuan (note to my self).

Untuk ortu murid: Cari lembaga terpercaya, jelas sistem pembayarannya, jelas sistem rekrutmennya. Saat ini banyak lembaga yang demi memuhi permintaan pasar, akhirnya mengambil SDM "seadanya". Kan sedih juga kalo ortu sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi memberikan yang terbaik bagi anak, tapi hasilnya kurang baik :(.

Untuk lembaga: Mungkin tidak semua sadar, guru kadang perlu menempuh perjalanan jauh lebih lama dari waktu mengajarnya. Jadi kalopun lembaga memotong honor untuk "komisi", mbok ya jangan kebangetan :"""D (cerita salah seorang teman yang pernah nggak sengaja melihat dokumen lembaga, bahwa honor yang diterima guru jauuuuuuh dibawah actual rate yang dibayarkan oleh ortu murid. :''')) Trus alangkah baiknya kalau bisa memantau umpan balik dari ortu/ murid dan guru les itu sendiri untuk kebaikan bersama.

Jadi....
Ya yang suka ngajar monggo diteruskan mengajar. Yang belum dan ingin mengajar, monggo memulai dari hal kecil, misal menjadi mentor adik kelas. Yang sudah punya bimbel atau lagi berusaha merintis, jadilah lembaga yang amanah, inshaAllah pasti berkah. Untuk ortu yang sedang mencarikan tutor bagi putra/putri tercinta, semoga berhasil menemukan yang cocok di hati dan bisa melejitkan performa belajar buah hati.

Mungkin ada yang sudah pernah menjadi guru privat, pernah les privat, atau pernah menggunakan jasa lembaga les dan ingin share pengalaman masing-masing? Saya akan senang sekali kalau ada yang mau menceritakannya di bagian komentar :))

Salam,
Aya Gaya

Comments

  1. Setuju banget sama bagian paragraf pertama dan "beda anak beda cara." Mbak Ay, mungkin bisa juga dibahas tentang guru privat yang independent dari lembaga privat, kayak aku. Hahaha. Overall, tulisan ini membantu aku untuk menjadi guru privat yang baik. Maklum, aku masih pemula. Wkwkwk :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ipul, maapkeun saya baru membalassso.
      Kayaknya kalo topik guru independen bisa jadi satu post baru, haha.
      Intinya sih karena kita berhubungan langsung dengan ortu murid, kita memang dituntut untuk bisa lebih komunikatif dengan orang tua, bener-bener harus bisa jaga hubungan baik dengan siswa dan ortunya. Harus lebih semangat dalam mengajar tentunya karena di sini yang harus mengatur segala keperluan administratif dan konten pembelajaran semuanya jadi tanggung jawab kita. Beda dengan kalo ngajar via bimbel, kan biasanya yang mengurus administrasi kan bimbel :D.

      Hayo Ipul makin semangadddd!!!

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Saran Pengasuhan yang (Mungkin) Belum Pernah Anda Dengar Sebelumnya

Mengasuh Anak Lebih Mudah, Emang Bisa?

[FAQ] Sastra Cina UI